Nasehat dari seorang teman,
Ibarat kita mau naik gunung, maka kita perlu membawa alat-alat yang benar.
Untuk yang satu ini, saya perlu bercerita sedikit,
Saya pernah naik bukit. Saat itu
badan masih fit dengan berat badan 49,9 kilo, sakit langganan hanya flu batuk
seperti mahasiswa kebanyakan, jarak track mungkin ada sekitar 3 atau 4 jam.
…
Pulang dari naik bukit yang super
dingin itu, wajah saya mengalami “keretakan” yang cukup parah. Mengelupas sana
sini terutama hidung dan pipi. Selama satu minggu penuh, saya bolos dari ruang
kelas. Malu.
Ingat sekali, bekal yang saya
bawa saat itu hanya beberapa lembar baju, sedikit bekal kue dan air minum.
Selebihnya tentang urusan tenda, tongkat tracking, alas tidur, kompor buat
memasak, beras dll sudah diurusi oleh panitia pendakian. Saya tak punya
pengalaman pendakian sebelumnya, hingga saya pikir, urusan daki mendaki adalah
sesuatu yang remeh temeh.
Saat itu, tracking dilakukan saat
malam hari. Pukul 11 malam. Sampai puncak sekitar jam 2 pagi dan saya merasa
harus mengutuk panitia mengapa saya harus diwajibkan untuk ikut dalam pendakian
itu. Badan remuk redam dan saya merasa terintimidasi dengan betapa tidak masuk
akalnya tugas-tugas yang diberikan, dan saya harus melakukannya.
Hal yang ingin saya katakan
disini adalah, saat itu saya tidak benar-benar mengerti apa saja yang harus
saya persiapkan.
Tidak punya pengalaman.
Tidak punya ilmu.
Sehingga tidak mengerti apa saja kiranya
yang harus dipersiapkan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,
misalnya kenyataan bahwa tubuh saya menjadi sangat sakit atau muka mengelupas
itu tadi.
Nasehat teman saya yang tadi pagi
dikirim lewat WA, kemudian melemparkan saya pada malam gelap di bukit yang
super dingin, mata yang masih sangat mengantuk, perut lapar, tugas tidak masuk
akal yang harus dikerjakan, panitia yang sok bengis, kawan-kawan seperjuangan
yang mulai menyimpan marah dalam dada, bercampur campur dengan suatu kengerian
bahwa nasehat teman saya itu akan berlaku seluruhnya dalam setiap peristiwa
apapun yang akan menimpa kita.
Jika kita mau menulis tentang
bekal-bekal yang harus dipersiapkan tentang kematian, maka tulisan ini takkan
habis habis ditulis.
Dan bahwa saat ini kenyataannya aku masih hidup, maka
menulis tentang “bekal yang benar” dalam menghadapi kehidupan, adalah sesuatu
yang kiranya relevan untuk diperbincangkan.
OK, tentang bekal hidup, tak ada
yang lebih aku junjung tinggi sebagai nilai filosofis selain kata SABAR.
Indah nian kata SABAR itu
ditelingaku, mengingat saat ini ia tak lebih dari semacam jargon saja, yang
sangat klise diucapkan saat kita tertimpa masalah.
Sahabatku yang lain, memberi
nasehat ( juga dikirimnya lewat WA)
“Aku tahu ini terdengar klise,
tapi yakinlah, tak ada yang bisa kita lakukan selain sabar”
Mengiringi nasehat tertulisnya,
dia kirimkan emotikon smile dengan tagar lucu
#yuktebelinsabar
Dan akupun tersenyum. Dia memang
sahabat yang baik.
…
Jika SABAR itu adalah sebuah
produk yang diperjual belikan misalnya di tokopedia atau shoope, maka besar
kemungkinan aku akan antre untuk membelinya pertama kali. Aku akan borong
banyak-banyak lalu akan segera aku isikan dalam ruang yang bernama HATI. Dan
menyimpan sisanya dalam lemari berkunci, karena jika kebetulan sudah mau habis,
bisa segera aku isi. Intinya aku tak mau, hatiku tak berisi kata sabar, karena
dia begitu berharga. Sabar adalah bekal kehidupan yang sebenar-benarnya.
Tapi sayang sungguh disayang,
rupanya sabar adalah bukan kata benda. Dia adalah kata sifat yang sekali lagi, bisa
dan hanya bisa dikumpulkan konsentrasi kekentalannya dalam ruang-ruang ujian
dimana kita harus ternyatakan “LULUS’
Saat anak kita rewel, dan kita
masih bersabar dalam mendidik dan memberinya kasih sayang, saat itulah kita
LULUS sabar.
Saat mertua kita betapa oh betapa
hampir tak terjemahkan dalam kata dan kita masih bisa menghormatinya, saat
itulah kita LULUS sabar.
Saat misalnya, dompet kita kosong
melompong dan masih mampu untuk tidak menyalahkan Tuhan atas semua yang
terjadi, bahkan tetap memujinya karena tidak mengizinkan kita hidup untuk
mempersiapkan bekal yang lain, saat itulah kita LULUS sabar.
Dan, buanyakkkk lagi ujian-ujian
kelulusan yang harus kita lewati untuk meningkatkan kata sabar itu.
Bahwa kata sabar adalah sebuah
proses, itu aku setuju, sama halnya misalnya aku mau serius menulis di blog
lalu aku berkomitmen untuk menulis satu artikel per minggu
( maaf aku meloncat
terlalu jauh…) bahwa itupun juga proses yang tidak instant.
Untuk semua hal baik, maka aku
akan mencoba, lebih lebih jika telah melihat progres yang mengagumkan dari
kawan-kawan seperjuangan lainnya.
Jumat ini, aku berjanji.