Bekal Kehidupan Bernama Sabar

Maret 07, 2019




Nasehat dari seorang teman,

Ibarat kita mau naik gunung,  maka kita perlu membawa alat-alat yang benar.

Untuk yang satu  ini, saya perlu bercerita sedikit,

Saya pernah naik bukit. Saat itu badan masih fit dengan berat badan 49,9 kilo, sakit langganan hanya flu batuk seperti mahasiswa kebanyakan, jarak track mungkin ada sekitar 3 atau 4  jam.


Pulang dari naik bukit yang super dingin itu, wajah saya mengalami “keretakan” yang cukup parah. Mengelupas sana sini terutama hidung dan pipi. Selama satu minggu penuh, saya bolos dari ruang kelas. Malu.


Ingat sekali, bekal yang saya bawa saat itu hanya beberapa lembar baju, sedikit bekal kue dan air minum. Selebihnya tentang urusan tenda, tongkat tracking, alas tidur, kompor buat memasak, beras dll sudah diurusi oleh panitia pendakian. Saya tak punya pengalaman pendakian sebelumnya, hingga saya pikir, urusan daki mendaki adalah sesuatu yang remeh temeh.


Saat itu, tracking dilakukan saat malam hari. Pukul 11 malam. Sampai puncak sekitar jam 2 pagi dan saya merasa harus mengutuk panitia mengapa saya harus diwajibkan untuk ikut dalam pendakian itu. Badan remuk redam dan saya merasa terintimidasi dengan betapa tidak masuk akalnya tugas-tugas yang diberikan, dan saya harus melakukannya.


Hal yang ingin saya katakan disini adalah, saat itu saya tidak benar-benar mengerti apa saja yang harus saya persiapkan.


Tidak punya pengalaman.

Tidak punya ilmu.

Sehingga tidak mengerti apa saja kiranya yang harus dipersiapkan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya kenyataan bahwa tubuh saya menjadi sangat sakit atau muka mengelupas itu tadi.


Nasehat teman saya yang tadi pagi dikirim lewat WA, kemudian melemparkan saya pada malam gelap di bukit yang super dingin, mata yang masih sangat mengantuk, perut lapar, tugas tidak masuk akal yang harus dikerjakan, panitia yang sok bengis, kawan-kawan seperjuangan yang mulai menyimpan marah dalam dada, bercampur campur dengan suatu kengerian bahwa nasehat teman saya itu akan berlaku seluruhnya dalam setiap peristiwa apapun yang akan menimpa kita.


Jika kita mau menulis tentang bekal-bekal yang harus dipersiapkan tentang kematian, maka tulisan ini takkan habis habis ditulis. 

Dan bahwa saat ini kenyataannya aku masih hidup, maka menulis tentang “bekal yang benar” dalam menghadapi kehidupan, adalah sesuatu yang kiranya relevan untuk diperbincangkan.



OK, tentang bekal hidup, tak ada yang lebih aku junjung tinggi sebagai nilai filosofis selain kata SABAR.


Indah nian kata SABAR itu ditelingaku, mengingat saat ini ia tak lebih dari semacam jargon saja, yang sangat klise diucapkan saat kita tertimpa masalah.

Sahabatku yang lain, memberi nasehat ( juga dikirimnya lewat WA)

“Aku tahu ini terdengar klise, tapi yakinlah, tak ada yang bisa kita lakukan selain sabar”

Mengiringi nasehat tertulisnya, dia kirimkan emotikon smile dengan tagar lucu

#yuktebelinsabar
Dan akupun tersenyum. Dia memang sahabat yang baik.


Jika SABAR itu adalah sebuah produk yang diperjual belikan misalnya di tokopedia atau shoope, maka besar kemungkinan aku akan antre untuk membelinya pertama kali. Aku akan borong banyak-banyak lalu akan segera aku isikan dalam ruang yang bernama HATI. Dan menyimpan sisanya dalam lemari berkunci, karena jika kebetulan sudah mau habis, bisa segera aku isi. Intinya aku tak mau, hatiku tak berisi kata sabar, karena dia begitu berharga. Sabar adalah bekal kehidupan yang sebenar-benarnya.

Tapi sayang sungguh disayang, rupanya sabar adalah bukan kata benda. Dia adalah kata sifat yang sekali lagi, bisa dan hanya bisa dikumpulkan konsentrasi kekentalannya dalam ruang-ruang ujian dimana kita harus ternyatakan “LULUS’


Saat anak kita rewel, dan kita masih bersabar dalam mendidik dan memberinya kasih sayang, saat itulah kita LULUS sabar.

Saat mertua kita betapa oh betapa hampir tak terjemahkan dalam kata dan kita masih bisa menghormatinya, saat itulah kita LULUS sabar.


Saat misalnya, dompet kita kosong melompong dan masih mampu untuk tidak menyalahkan Tuhan atas semua yang terjadi, bahkan tetap memujinya karena tidak mengizinkan kita hidup untuk mempersiapkan bekal yang lain, saat itulah kita LULUS sabar.

Dan, buanyakkkk lagi ujian-ujian kelulusan yang harus kita lewati untuk meningkatkan kata sabar itu.
Bahwa kata sabar adalah sebuah proses, itu aku setuju, sama halnya misalnya aku mau serius menulis di blog lalu aku berkomitmen untuk menulis satu artikel per minggu 
( maaf aku meloncat terlalu jauh…) bahwa itupun juga proses yang tidak instant.


Untuk semua hal baik, maka aku akan mencoba, lebih lebih jika telah melihat progres yang mengagumkan dari kawan-kawan seperjuangan lainnya.

Jumat ini, aku berjanji.


You Might Also Like

1 komentar

  1. Sabar dan ikhlas rasanya ilmu tingkat tinggi. Mudah diucapkan, sulit diterapkan. Namun bukan berarti kita harus menyerah. Selagi nafas masih ada, harus terus mencoba. ^^

    BalasHapus

About Me

Like us on Facebook

Popular Posts